
APAKAH ANTIOKSIDAN SELALU AMAN ?
Antioksidan secara luas dianggap sebagai mekanisme pertahanan penting untuk penyakit jantung. Meskipun demikian, tim peneliti University of Utah menemukan bahwa kadar suatu antioksidan yang berlebihan yaitu glutation bentuk reduksi, bahkan sebaliknya dapat menimbulkan penyakit tersebut.
Hasil studi yang dilakukan oleh Dr. Ivor J. Benjamin dkk. Dari University of Utah School of Medicine, menunjukkan adanya peluang untuk mengembangkan golongan obat baru guna mengobati atau bahkan mencegah penyakit jantung yang diakibatkan oleh “stress reduktif”.
Protein alpha B-Crystallin yang juga disebut sebagai molekul pengawal, secara normal membantu protein untuk dapat terlipat di dalam sel. Jika proses ini berjalan dengan baik, maka sel akan memproduksi glutation bentuk reduksi dalam jumlah yang tepat, yang bersifat sehat bagi tubuh. Tetapi jika gen yang membuat alpha B-crystallin bermutasi pada manusia, maka protein tidak melipat dengan semestinya, tetapi mengalami agregasi. Akibatnya glutation bentuk reduksi diproduksi dalam jumlah berlebih, sehingga mengganggu fungsi jantung. Keadaan ini disebut sebagai stress reduktif.
Kelainan yang diakibatkan oleh stress reduktif tidak terbatas pada miosit jantung. Pada WEH17.2 sel limfoma, ekspresi berlebihan G6PD meningkatkan glutation reduksi dalam bentuk NADPH, menurunkan sintesis ATP oleh mitokondria, dan meningkatkan kepekaan terhadap ROS dan apoptosis. Selain itu, produksi berlebihan glutation bentuk reduksi akibat peningkatan aktivitas G6PD cenderung menyebabkan efek pleiotropik ekspresi gen, disfungsi mitokondria, dan control kualitas protein.
Dalam penelitian yang dilakukan di dalam laboratorium pada binatang percobaan tikus yang mengalami gagal jantung akibat alpha B-Crystallin mutan, para peneliti menemukan adanya peningkatan aktivitas jalur biokimiawi yang menyebabkan tingginya kadar glutation bentuk reduksi pada binatang tersebut.
Glutation merupakan salah satu antioksidan yang paling kuat dalam tubuh dan diregulasi melalui beberapa tahap terutama oleh enzim G6PD. Untuk dapat menetapkan hubungan antara glutation bentuk reduksi dengan gagal jantung, para peneliti mengawinkan tikus dengan alpha B-Crystallin mutan yang membawa begitu banyak G6PD dengan tikus yang mempunyai kadar enzim sangat rendah. Ternyata, menghasilkan suatu keturunan yang mempunyai kadar glutation bentuk reduksi normal dan tidak mengalami gagal jantung. Penurunan kadar glutation bentuk reduksi secara dramatis memperbaiki angka harapan hidup tikus – tikus ini, dan hal ini pada dasarnya karena tikus – tikus tersebut dicegah untuk tidak mengalami gagal jantung.
Penyakit jantung, Alzheimer, Parkinson, dan penyakit fatal lainnya dihubungkan dengan stress oksidatif, yang diakibatkan oleh molekul – molekul “radikal bebas” hasil reaksi oksigen yang masuk tubuh. Radikal bebas bersirkulasi dalam tubuh, memicu reaksi – reaksi kimiawi yang merusak protein, dan menyebabkan protein mengalami agregasi, banyak orang menggunakan antioksidan untuk mencegah penyakit jantung dan penyakit lain akibat agregasi protein, tetapi bukti – bukti yang menunjukkan bahwa antioksidan betul – betul bekerja, masih belum jelas. Sampai saat ini stres reduktif tidak dilihat dalam konteks sebagai penyakit, dan hal ini dapat terjadi akibat terlalu banyak zat yang baik (antioksidan).
Dari hasil studi akan dapat dikembangkan obat – obat baru yang ditujukan terhadap jalur genetic yang menyebabkan masalah ini, yaitu dengan adanya penurunan kadar glutation bentuk reduksi tanpa memengaruhi gen mutan yang mengkode alpha B-Crystallin dapat memperbaiki stress reduktif. Metode pengobatan ini lebih ditujukan terhadap keseimbangan yang diperlukan pada sel – sel kita, dan hal ini dapat mempunyai dampak besar untuk pengobatan penyakit jantung maupun penyakit serius lain.
SINAR MATAHARI MENURUNKAN RISIKO SKLEROSIS MULTIPEL PADA ANAK
Suatu studi baru yang dimuat dalam majalah Neurology, melaporkan bahwa paparan sinar matahari selama masa anak – anak pada kembar monozigot dapat menurunkan risiko sclerosis multipel sebesar 60%.
Dr. Thomas M. Mack dkk. Dari Keck School of Medicine, University or Southern California, meneliti kadar paparan sinar matahari pada 79 pasang kembar identik, dan hanya menemukan 1 pasang yang menderita sclerosis multipel. Dilaporkan bahwa anak kembar yang menderita penyakit tersebut mendapat paparan sinar matahari yang kurang semasa anak – anak, dibanding yang lain.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa paparan sinar matahari tampaknya mempunyai efek protektif terhadap penyakit sclerosis multipel. Paparan sinar ultraviolet menimbulkan efek proteksi terhadap sclerosis multipel melalui mekanisme langsung yaitu dengan memengaruhi respons imun seluler, dan secara tidak langsung yaitu dengan memproduksi vitamin D imunoaktif.
Studi ini merupakan bagian dari suatu studi besar yang dalakukan di Amerikan Utara, yang disebut International Twin Study. Studi ini meneliti semua anak kembar yang didiagnosis menderita penyakit kronik tertentu, termasuk sclerosis multipel. Di dalam kuesioner yang sangat komprehensif sepanjang 60 halaman, ditanyakan factor – factor etiologic yang mungkin berperan, antara lain dicatat banyaknya paparan sinar matahari berhubungan dengan aktivitas anak yang terpapar sinar matahari.
Masing – masing anak kembar ditanya apakah menghabiskan waktu lebih banyak di luar rumah selama berbagai musim. Juga ditanya apakah mereka sering pergi ke pantai, dan bermain olah raga kelompok.
Untuk tujuan studi, hanya anak kembar yang menunjukkan hubungan antara penyakit dan paparan sinar matahari yang dimasukkan dalam analisis. Dari 79 pasang anak kembar, sebagian besar merupakan anak perempuan, dan lahir di bagian utara Amerikan Serikat atau utara Eropa.
Meskipun dalam studi ini jumlah anak kembar yang dimasukkan dalam analisis terbatas, tetapi terlihat adanya hubungan bermakna antara penyakit dengan paparan sinar matahari dengan rasio risiko 0,25-0,57.
Secara keseluruhan, pasangan kembar yang menderita penyakit ini adalah pasangan yang menerima paparan sinar matahari lebih sedikit dibanding pasangan yang tidak terkena penyakit. Para peneliti tidak menemukan adanya factor lain yang berpengaruh, seperti infeksi pada masa anak – anak, insidensi mononucleosis infeksiosa, merokok, diet, dan usia saat menarche, yang mungkin berpengaruh terhadap efek protektif paparan sinar matahari.
Tim peneliti ini juga mengatakan bahwa studi serupa yang menunjukkan adanya efek protektif sinar matahari telah dilaporkan pada 2003 kasus sclerosis multipel di Tasmania. Dari studi tersebut ditunjukkan bahwa anak – anak yang terpapar sinar matahari selama 2 jam atau lebih setiap minggu, mengalami penurunan risiko sclerosis multipel sebesar 60%, dibanding anak – anak yang mendapat paparan sinar matahari < 2 jam seminggu.
Dari analisis juga ditemukan bahwa efek protektif paparan sinar matahari hanya terlihat pada pasangan kembar anak perempuan. Hal ini merupakan penemuan yang perlu diteliti lebih lanjut, karena menunjukkan adanaya efek imunomodulasi vitamin D yang spesifik terhadap jenis kelamin. Meskipun demikian, para peneliti mengingatkan agar hasil studi ini perlu disimpulkan dengan hati – hati, karena jumlah pasangan kembar yang diteliti terbatas.
Meskipun demikian, hasil studi ini menunjukkan pentingnya paparan sinr matahari bagi pasangan – pasangan kembar identik yang mempunyai risiko menderita sclerosis multipel. Prioritas penelitian tertinggi harus ditujukan untuk mengetahui bagaimana paparan sinar matahari mengurangi risiko sclerosis multipel, untuk dapat mengungkap penyebab penyakit sclerosis multipel ini.
LEKOSIT TERNYATA TIDAK MENYERANG SEMUA JENIS BENDA ASING
Buku – buku pelajaran biologi yang menyatakan bahwa leukosit neutrofil merupakan pembunuh yang tidak membeda – bedakan, ternyata tidak benar. Dahulu dianggap bahwa leukosit jenis ini melakukan patroli di dalam tubuh, menjaga tubuh terhadap infeksi bakteri dan jamur, dan mengindentifikasi serta menghancurkan semua jenis penyusup yang masuk ke dalam tubuh. Sekarang dibuktikan bahwa neutrofil sebenarnya membedakan target yang dijadikan sasaran, sehingga dapat digunakan untuk mengembangkan obat – obat yang lebih baik dan berguna untuk melawan kuman patogen yang mematikan.
Tim peneliti dan Whitedead Member Gerald Fink telah menemukan bahwa neutrofil dapat mengenali dan memberi respons terhadap suatu molekul gula spesifik yang disebut beta-1,6-glukan yang terdapat pada permukaan jamur. Molekul gula hanya merupakan fraksi kecil dari dinding sel jamur, jauh lebih sedikit jumlah dibanding molekul gula lain yang mempunyai sifat kimia mirip, yaitu beta-1.3-glukan. Karena molekul gula yang jumlahnya sedikit menghasilkan reaksi yang lebih kuat terhadap sel – sel imun, maka dianggap neutrofil dapat membedakan dua zat kimia yang sangat mirip tersebut.
Berdasarkan studi tersebut, Dr. Ifat Rubin-Bejerano sebagai peneliti utama menyatakan bahwa proses neutrofil memakan dan membunuh mikroba, tergantung pada sifat dinding sel mikroba. Ditunjukkan bahwa neutrofil memberi respons dengan cara yang sama sekali berbeda, jika kompsisi gula diubah sedikit, jika kita dapat menggunakan molekul gula yang unik ini untuk merangsang system imun, maka hal ini dapat membantu tubuh manusia melawan infeksi.
Dahulu diduga bahwa sel – sel kunci system imun ini, tidak memilih – milih dan akan memakan semua jenis benda asing. Studi ini ternyata menunjukkan hasil yang sebaliknya, yaitu sel – sel ini tidak sembarangan memburu target, tetapi dapat membedakan satu patogen dengan patogen lainnya. Ada bukti – bukti yang menunjukkan bahwa neutrofil memberi respons terhadap beta-glukan. Manik – manik halus yang dilapisi berbagai senyawa (termasuk beta-1,3-glukan dan beta-1,6-glukan dipaparkan dengan neutrofil, dan ternyata ada perbedaan yang bermakna dalam responsnya terhadap kedua jenis gula tersebut. Neutrofil secara cepat memakan sebagian besar manik – manik yang dilapisi beta-1,6-glukan, tetapi hanya sebaian kecil manik yang dilapisi beta-1,3-glukan.
Studi terdahulu menunjukkan bahwa serum darah (tampa sel – sel darah) membantu neutrofil mengenali musuhnya, karena itu dicari kunci penyebab respons tersebut pada cairan ini ternyata diidentifikasi adanya beberapa protein dalam serum yang terikat dengan beta-1,6-glukan, tetapi tidak dengan beta-1,3-glukan. Kemudian ditemukan adanya sebuah molekul pada permukaan neutrofil yang dapat mengenali protein-protein ini.
Sehubungan dengan hal diatas, maka para peneliti melakukan studi dengan Candida albicans, yang merupakan jamur yang paling sering ditemukan dalam aliran darah. Digunakan suatu enzim yang menghancurkan beta-1,6-glukan dari dinding sel, dan membiarkan beta-1,3-glukan tetap utuh. Kemudian neutrofil ditambahkan pada sel – sel yang komposisinya sudah berubah tersebut, dan menemukan adanya penurunan respons imun sebesar 50%.
Tubuh kita mempertahankan suatu keseimbangan yang sangat bagus, antara system imun dan mikroba. Antibiotika dan jamur meningkatkan keseimbangan kearah yang bermanfat untuk system imun, dengan melawan mikroba secara langsung. Suatu senyawa seperti beta-1,6-glukan dapat lebih membantu meningkatkan keseimbangan ini dengan merangsang sel – sel imun.
Hasil studi ini diharapkan dapat membantu mengatasi masalah infeksi microbial yang makin lama bertambah berat sehingga dapat membahayakan kesehatan manusia, khususnya pasien dengan gangguan system imun.
diambil dari Medical Update. edisi oktober 2007.